Selasa, 24 April 2012

MANUSIA DAN KEADILAN




“Definisi Manusia”

Manusia adalah makhluk utama, yaitu diantara semua makhluk natural dan supranatural, manusia mempunyai jiwa bebas dan hakikat hakikat yg mulia.
Manusia adalah kemauan bebas. Inilah kekuatannya yg luar biasa dan tidak dapat dijelaskan : kemauan dalam arti bahwa kemanusiaan telah masuk ke dalam rantai kausalitas sebagai sumber utama yg bebas – kepadanya dunia alam –world of nature–, sejarah dan masyarakat sepenuhnya bergantung, serta terus menerus melakukan campur tangan pada dan bertindak atas rangkaian deterministis ini. Dua determinasi eksistensial, kebebasan dan pilihan, telah memberinya suatu kualitas seperti Tuhan.
Manusia adalah makhluk yg sadar. Ini adalah kualitasnya yg paling menonjol; Kesadaran dalam arti bahwa melalui daya refleksi yg menakjubkan, ia memahami aktualitas dunia eksternal, menyingkap rahasia yg tersembunyi dari pengamatan, dan mampu menganalisa masing-masing realita dan peristiwa. Ia tidak tetap tinggal pada permukaan serba-indera dan akibat saja, tetapi mengamati apa yg ada di luar penginderaan dan menyimpulkan penyebab dari akibat. Dengan demikian ia melewati batas penginderaannya dan memperpanjang ikatan waktunya sampai ke masa lampau dan masa mendatang, ke dalam waktu yg tidak dihadirinya secara objektif. Ia mendapat pegangan yg benar, luas dan dalam atas lingkungannya sendiri. Kesadaran adalah suatu zat yg lebih mulia daripada eksistensi.
Manusia adalah makhluk yg sadar diri. Ini berarti bahwa ia adalah satu-satuna makhluk hidup yg mempunyai pengetahuan atas kehadirannya sendiri ; ia mampu mempelajari, manganalisis, mengetahui dan menilai dirinya.
Manusia adalah makhluk kreatif. Aspek kreatif tingkah lakunya ini memisahkan dirinya secara keseluruhan dari alam, dan menempatkannya di samping Tuhan. Hal ini menyebabkan manusia memiliki kekuatan ajaib-semu –quasi-miracolous– yg memberinya kemampuan untuk melewati parameter alami dari eksistensi dirinya, memberinya perluasan dan kedalaman eksistensial yg tak terbatas, dan menempatkannya pada suatu posisi untuk menikmati apa yg belum diberikan alam.
Manusia adalah makhluk idealis, pemuja yg ideal. Dengan ini berarti ia tidak pernah puas dengan apa yg ada, tetapi berjuang untuk mengubahnya menjadi apa yg seharusnya. Idealisme adalah faktor utama dalam pergerakan dan evolusi manusia. Idealisme tidak memberikan kesempatan untuk puas di dalam pagar-pagar kokoh realita yg ada. Kekuatan inilah yg selalu memaksa manusia untuk merenung, menemukan, menyelidiki, mewujudkan, membuat dan mencipta dalam alam jasmaniah dan ruhaniah.
Manusia adalah makhluk moral. Di sinilah timbul pertanyaan penting mengenai nilai. Nilai terdiri dari ikatan yg ada antara manusia dan setiap gejala, perilaku, perbuatan atau dimana suatu motif yg lebih tinggi daripada motif manfaat timbul. Ikatan ini mungkin dapat disebut ikatan suci, karena ia dihormati dan dipuja begitu rupa sehingga orang merasa rela untuk membaktikan atau mengorbankan kehidupan mereka demi ikatan ini.
Manusia adalah makhluk utama dalam dunia alami, mempunyai esensi uniknya sendiri, dan sebagai suatu penciptaan atau sebagai suatu gejala yg bersifat istimewa dan mulia. Ia memiliki kemauan, ikut campur dalam alam yg independen, memiliki kekuatan untuk memilih dan mempunyai andil dalam menciptakan gaya hidup melawan kehidupan alami. Kekuatan ini memberinya suatu keterlibatan dan tanggung jawab yg tidak akan punya arti kalau tidak dinyatakan dengan mengacu pada sistem nilai.
“Definisi Keadilan”

Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah antara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem ini menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama, kalau tidak sama, maka masing – masing orang akan menerima bagian yang tidak sama, sedangkan pelangggaran terjadap proporsi tersebut disebut tidak adil.

            Keadilan oleh Plato diproyeksikan pada diri manusia sehingga yang dikatakan adil adalah orang yang mengendalikan diri dan perasaannya dikendalikan oleh akal. Socrates memproyeksikan keadilan pada pemerintahan. Menurut Socrates, keadilan akan tercipta bilamana warga Negara sudah merasakan bahwa pemerintah sudah melakukan tugasnya dengan baik. Mengapa diproyeksikan kepada pemerintah ? sebab pemerintah adalah pimpinan pokok yang menentukan dinamika masyarakat. Kong Hu Cu berpendapat bahwa keadilan terjadi apabila anak sebagai anak, bila ayah sebagai ayah, bila raja sebagai raja, masing-masing telah melaksanakan kewajibannya. Pendapat ini terbatas pada nilai-nilai tertentu yang sudah diyakini atau disepakati.

                Menurut pendapat yang lebih umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan dan pelakuan yang seimbang antara hak-hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntuk hak dan menjalankan kewajiban. Atau dengan kata lain, keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi hak nya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan bersama.


“Faktor Pendukung Keadilan”

Manusia yang hendak mencapai suatu tujuan, akan selalu terikat dengan banyak faktor sehingga dia akan mengambil langkah yang efisien sehingga dapat mencapai tujuannya dengan sempurna.

Faktor kondisional memiliki dua makna. Pertama adalah melihat faktor yang harus diadakan dalam kondisi tertentu, sehingga faktor akan dapat dilihat sebagai syarat atau sebab. Dimana faktor mendominasi terciptanya suatu kondisi tertentu. Kedua adalah melihat kondisi yang ada dengan dihubungkan pada faktor pendukung, sehingga faktor faktor yang ada tersebut hanya sebagai pendukung.Dia hanya di perlukan ketika keadaan tertentu saja.Dan ini berkaitan dengan kondisi yang pertama.Ketika menghubungkan faktor yang harus diadakan untuk membuat langkah strategis, dan taktik yang tepat dan efisien adalah pilihannya, maka banyak yang harus dipenuhi. Misalnya, pengetahuan terhadap kondisi dirinya, tujuan yang hendak dicapai dan juga langkah langkah strategis dan taktis yang hendak dicapainya. Minimal ini, karena selain ini akan ada lagi banyak faktor yang harus diketahuinya untuk dapat memenuhi 'efisiensi' langkah. Maka pengetahuan terhadap kondisi, waktu dan tempat juga harus diperhatikan, atau boleh dikatakan, semua faktor yang mendukung dan juga Permasalahan bukan hanya menfokuskan pemikiran pada tujuan yang hendak dicapai, tapi juga persyaratan dan kondisi yang ada sehingga semua penghalang.faktor yang ada dan diperlukan dapat diindentifikasi dengan baik. Keseluruhan faktor, berarti bahwa semua faktor yang ada yang perlu diadaan atau/dan yang sudah ada. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka membuat langkah strategis, karena dengannya langkah tersebut akan menjadi kongkrit dan praktis serta efisien. Tidak dapat dicapai langkah startegis yang baik, kecuali semua faktor sudah ter-inditifikasi, karena setiap kekurangan terhadap pengetahuan faktor tersebut, maka akan menjadi langkah tersebut akan tidak efisien bahkan boleh jadi mejauhkan dari pada tujuan.Boleh dikatakan faktor kondisional merupakan hal yang dominan untuk mencapai tujuan. Karena faktor kondisional merupakan persyaratan dari langkah stategis dan taktis, untuk tercapainya tujuan. Dengan ini maka dihadapan kita ada dua kondisi (minimal) :
1. Terpenuhinya semua semua faktor, yaitu menciptakan (mengadakan) semua faktor sehingga langkah yang hendak dicapai dapat segera dijalankan. Terjadinya pengkondisian sebelum melangkah.
2. Melangkah dengan harapan faktor yang belum ada akan didapatkan atau terkondisikan. Hal ini akan membuat semua langkah tidak efisien dan tidak fokus pada langkah strategis.

Kalau hendak dilihat dalam kehidupan manusia sekarang, maka banyak sekali contohnya, sehingga berapa banyak kegagalan yang harus diterima untuk mencapai cita-cita.

Mencapai keadilan sosial,misalnya. Ini merupakan cita cita semua manusia sekarang (kurang lebih). Tapi hingga sekarang dimana keadilan sosial itu telah tercapai, sehingga bentukan tersebut menjadi contoh yang kongkrit bagi semua. Maka jawabnya, semua manusia sedang berusaha untuk mencapainya, dan belum ada satu manusiapun yang sudah merasakan apa itu keadilan sosial.Faktor yang perlu diadalan sehingga keadilan sosial dapat dirasakan adalah:
1. Pendifinisan keadilan sosial dengan baik, sehingga faktor sosial akan memahami apa yang hendak dicapainya, atau apa yang menjadi cita cita bersama mereka. Kalau saja pendifinisian tidak jelas, atau adanya perbedaan pendapat, akan terjadilah perbedaan tujuan.
2. Faktor pendukung untuk membantu efisiensi kerja sosial sehingga akan terjadinya kerja sama diantara unsur yang diperlukan. Faktor pendukung utama yang dominan adalah SDM yang memenuhi syarat untuk keadilan, yaitu SDM yang (minimal) tidak berjalan atas interesnya sendiri.
3. Faktor penghalang, karena dengan adanya faktor ini, akan diperlukan suatu unsur tertentu untuk menindak lanjuti sehingga hilangnya faktor ini. Karena boleh jadi faktor ini menjadi penghalang sehingga sama sekali makna dan kondisi keadilan tidak akan didapatkan.

Dengan ini semua, tidak heran kalau diperlukan langkah "mundur" atau pengkondisian sebagai fundamen untuk menegakkan semua faktor keadilan yang diinginakan sehingga langlah strtegis kedepan akan djalanlan dengan efisinsi yang maksimal. Boleh jadi, "langkah mundur" ini menjadi langkah strategis, karena menyangkut dengan efisiensi kerja bersama sehingga cita cita akan di pastikan akan di dapatkan.Sebagai contoh adalah langkah pengkaderan, yaitu membentuk personal yang siap untuk menjalankan tugas bersamanya untuk mencapai keperluan sosial dengan baik. SDM yang memahami keadilan dan dia sendiri adil. Tanpa adanya faktor SDM yang memenuhi syarat keadilan, maka akan terjadilah cirkulasi atau permasalahan yang tidak akan berhenti. Karena dapat dipastikan ketidak adilan yang mendominasi kehidupan dan juga jalan yang ditempuh sedang dijalani oleh orang yang tidak adil. Permasalahan bukan hanya efisiensi, tapi juga masalah esensial, yaitu kedhaliman yang berjalan dengan harapan membentuk keadilan.

Tidak ada jalan lain, keadilan harus ditegakkan dulu pada personal yang hendak menjalankan keadialan dalam masyarakat, sehingga masyarakat dapat dibawa seorang adil kepada keadilan sosial itu sendiri. Tanpa faktor kondisonal ini, seorang adil, keadilan sosial hanya merupakan mimpi bersama Begitu juga mimpi mimpi indah sosial yang sekarang masih dinikmati oleh masyarakat dunia. Bagaimana kita hendak mengejar mimpi kalau itu hanya mimpi. Maka kita perlu mengambil langkah esensial dengan bangun mempersiapkan orang yang adil dan menghadapi ketidak adilan. Dengan inilah mimpi akan menjadi cita cita nyata.
Perlu juga difahami, bahwa selama ini keadilan sosial di dunia ini terhalang oleh kekuatan besar yang mengatas namakan keadilan tapi melakukan semua bentuk kezaliman terhadap semua bangsa termasuk menghambat keadilan terlaksana. Keadilan bagi mereka adalah segala yang menguntungkan mereka, selain itu adalah tidak adil. Maka semua negara dan bangsa yang tidak hendak memberikan keuntungan kepada mereka dianggap dan dituduh sebagai kezalimanan.
Selama kekuatan seperti ini ada, maka perjuangan menegakkan keadialan sosial adalah mempersiapkan orang adil yang berani melawan ketidak-adilan ini.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan terhadap kelangsungan ekonomi suatu bangsa pada hakekatnya ditujukan kepada faktor produksi dan pengolahannya. Karena itu pembinaan ekonomi pada dasarnya merupakan penentuan kebijaksanaan ekonomi dan pembinaan faktor produksi serta pengolahannya didalam produksi dan distribusi barang serta jasa, baik didalam negeri maupun dalam hubungannya dengan luar negeri.
1.      Bumi dan sumber alam. Sebagai pernyataan yang dapat dibenarkan, bahwa Indonesia mempunyai kekayaan alam secara potensial yang besar dan beraneka ragam. Inventarisasi data dan eksplorasi mengenai kekayaan alam sangat diperlukan, yang merupakan basis bagi keseluruhan strategi pembangunan. Hal ini bertalian erat dengan riset dan pendidikan serta teknologi yang perlu dipersiapkan. Dari segi strategi Hankam, kekayaan nasional ini harus diamankan dari unsur-unsur asing, mengingat perang besar pada dasarnya disebabkan oleh perebutan energi minyak atau kekayaan alam lainnya.

2.      Masalah Pertanahan. Ditinjau dari sudut sosial ekonomi dan sosial politik masalah pertanahan di Indonesia dapat menjadi sumber pokok keresahan agraris. Hal ini disebabkan oleh kurang terasanya keadilan sosial dalam aspek-aspek pemilikan, penguasaan dan penggarapan tanah. Kelangkaan sebagai akibat pertambahan penduduk paling jelas kelihatan dipulau Jawa, Madura dan Bali. Keadaan alam dan kurang kesuburan tanah, kekurangan prasarana, pertambahan penduduk yang sangat cepat, kekuatan ikatan serta batas-batas hukum adat, merupakan penyebab krisis pertanahan.

Kebutuhan untuk perluasan kawasan industri, pemekaran lingkungan-lingkungan        perkotaan,pemukiman dan prasarana perhubungan, kecenderungan kenaikan investasi pada tanah dari kelebihan daya beli, telah mendorong nilai harga tanah terus naik. Akumulasi dan pemusatan pemilikan serta penguasaan atas tanah ditangan segolongan/seseorang tertentu yang melewati batas maksimal yang dibenarkan oleh undang-undang jelas merugikan pihak lain. Akumulasi dan pemusatan pemilikan serta penguasaan tanah ditangan sekelompok kecil orang tertentu cenderung menimbulkan “tanah guntay” yang berarti letak tanah berada diluar kecamatan tempat tinggal pemilik/penguasaan tanah. Keadaan yang demikian sering pula menyebabkan tanah menjadi “idle” atau kurang bermanfaat, sedangkan anggota-anggota masyarakat yang lain berteriak kekurangan tanah.
Pertimbangan hubungan antara pemilik/penguasa tanah dan penggarap tanah, khususnya yang menyangkut pembagian hasil dan penerima balas jasa merupakan masalah pokok yang mengandung akibat yang luas dan berantai dibidang sosial ekonomi dan sosial politik. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang bagi Hasil (UUBH) yang berlaku sejak 1960 beserta segenap perangkat peraturan-peraturan hukum lainnya memberikan landasan untuk menanggulangi berbagai masalah pertanahan, walaupun masih harus dilengkapi dengan serangkaian peraturan pelaksanaan lain.

3.      Masalah pangan. Kenaikan produksi pangan Indonesia terendah diantara negara-negara ASEAN sedangkan konsumsi naik terus. Walaupun ada kenaikan produksi, tetapi bahan pangan harus di impor lebih banyak, yaitu 324 ribu ton dalam tahun 1970 dan 1,8 juta ton dalam tahun 1978. Kita membeli 20-30% dari sisa produksi pangan dunia yang dijual belikan. Karena yang diperjual belikan itu 4% saja dari produksi dunia, maka impor menjadi peka sekali. Swasembada pangan merupakan sasaran yang sangat vital. Usaha meningkatkan produksi pangan kini mengutamakan suply bibit unggul, pupuk dan lain sebagainya.

4.      Masalah energi. Kenaikan konsumsi minyak bumi dalam negeri cukup cepat dalam dasawarsa yang lalu. Dengan berlangsungnya usaha pembangunan kebutuhan akan energi cenderung meningkat di segala bidang. Konsumsi energi perkapita di Indonesia masih berada pada tingkat yang paling rendah diantara negara-negara ASEAN, Sebaliknya tingkat kenaikan konsumsi energi pertahun di Indonesia belum memadai dibanding dengan negara-negara ASEAN.

5.      Masalah tenaga kerja. Pertumbuhan penduduk yang tepat dan tidak diimbangi dengan perluasan kesempatan kerja menimbulkan pengangguran kelihatan dan tidak kelihatan. Penanggulangan pengangguran di pedesaan dengan jalan pemindahan penduduk ke daerah lain yang masih mempunyai potensi tanah dan alam atau dengan industrialisasi tetap memerlukan waktu dan biaya besar. Peningkatan jumlah penduduk yang laju dan pengangguran yang makin bertambah dapat menimbulkan kegoncangan sosial.Untuk jangka panjang diperlukan kebijaksanaan penduduk yang mengatur keluarga berencana dan distribusi penduduk secara ekonomi geografi.

6.      Masalah kesempatan kerja. Masalah kurangnya kesempatan kerja menyebabkan banyak tenaga kerja di daerah pedesaan tidak terserap secara penuh. Meskipun jarang terlihat adanya pengangguran terbuka di daerah pedesaan, akan tetapi sebagian besar tenaga kerja di daerah pedesaan tidak dapat bekerja penuh dan banyak pula diantaranya yang termasuk dalam katagori setengah menganggur.Disamping kurangnya kesempatan kerja, sebagian besar tenaga kerja yang tersedia tidak memiliki ketrampilan yang dibutuhkan untuk menopang pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Keadaan yang demikian sering memaksa para pekerja menerima upah yang jauh lebih rendah dari yang seharusnya mereka terima.
Gejala lain yang timbul sehubungan dengan kurangnya kesempatan kerja dan atau tidak dimilikinya ketrampilan tertentu sering menimbulkan terjadinyamismatch yang berarti bahwa pekerjaan yang ia lakukan tidak sesuai dengan ketrampilan yang dimiliki. Keadaan setengah menganggur, gaji yang lebih rendah dari yang seharusnya diterima, serta mismatch merupakan ciri dari sebagian besar keadaan tenaga kerja Indonesia dewasa ini.

7.      Masalah Kemiskinan. Keadaan ketenagakerjaan serta kesempatan kerja yang tidak memadai ditambah pula dengan tingkat pendapatan yang rendah erat hubungannya dengan masalah kemiskinan di Indonesia. Berbagai data yang tersedia menunjukkan bahwa dewasa ini antara 40-45% dari seluruh penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Sempitnya pemilikan tanah untuk sebagian besar petani di Jawa serta kurangnya kesempatan kerja di luar lapangan pertanian juga merupakan faktor penyebab rendahnya tingkat pendapatan penduduk didaerah perdesaan serta timbulnya kemiskinan. Rendahnya tingkat pendapatan serta tidak dimilikinya ketrampilan tertentu, disamping lapangan pekerjaan yang masih terbatas merupakan faktor penyebab timbulnya kemiskinan di daerah perkotaan. Keadaan kemiskinan baik di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan seringkali merupakan penyebab timbulnya keresahan di kalangan masyarakat yang dapat berakibat lemahnya ketahanan nasional.

8.      Faktor modal. Umumnya terdapat kekurangan modal untuk pembangunan dan kemampuan masih terbatas. Kemampuan reinvestasi modal perusahaan masih kurang. Pendapatan ekspor biasanya habis untuk pembiayaan impor. Untuk mengatasi kekurangan tersebut diusahakan penanaman modal luar negeri yang berupa bantuan atau pinjaman pemerintah maupun swasta yang harus diarahkan untuk meningkatkan kapasitas produksi didalam negeri. Dengan demikian dapat dijamin kemampuan pembayaran kembali dan mengurangi ketergantungan negara kepada bantuan modal asing. Peningkatan kapasitas produksi tidak hanya bertujuan peningkatan volume, tetapi juga memperoleh teknologi baru, ketrampilan kerja, kepemimpian perusahaan, kesempatan kerja.Karena penggunaan teknologi mutakhir tidak dapat menciptakan lapangan kerja secara luas, maka negara berkembang perlu mengambil kebijaksanaan pembangunan industri yang taraf permulaan masih bersifat padat karya atau memilih teknologi madya. Untuk jangka panjang harus ditempuh strategi pembangunan yang bertujuan : pendidikan keterampilan/kejuruan secara massal, berencana dan terarah.

9.      Industrialisasi untuk memperluas kesempatan kerja. Peningkatan produksi barang dan jasa untuk keperluan konsumsi didalam negeri dan untuk ekspor barang setengah jadi atau barang jadi. Kebijaksanaan yang ditempuh untuk memperoleh modal.


“Faktor Penghambat Keadilan”

roses pendidikan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya bila salah satu elemen, aspek atau dimensi yang membentuk sistem pendidikan menghadapi hambatan dan tantangan. Begitu pun sebaliknya, proses pendidikan akan berlangsung dengan baik bila salah satu elemen, aspek dan dimensi pendidikan saling mendukung dan saling melengkapi. Apabila faktor pendukung dilihat dari aspek manusianya, maka seluruh personil yang terlibat dalam upaya melangsungkan pendidikan, mutlak berkualifikasi dan profesional dalam bidangnya masing-masing. Sedangkan bila ditinjau dari aspek sarana dan prasarananya, maka seluruh seluruh perangkat keras dan perangkat lunak harus selalu siap di tempat untuk memainkan (dimainkan) peranannya masing-masing. Sehingga dengan demikian perlu diantisipasi dan diketahui faktor pendukung dan penghambat efektivitas pendidikan.
Secara formal (dalam proses pendidikan di seko lah), pengelolaan kelas dan hal-hal lain yang terkait dalam upaya melangsungkan (proses) pendidikan, diarah­kan seoptimal mungkin untuk mencapai situasi pendidikan yang dapat mendukung berlangsungnya pendidikan. Faktor Pendukung dan Penghambat Efektivitas Pendidikan adalah:
1.                  Faktor pertama (manusia) antara lain adalah kekurangan guru yang mampu bertugas sebagaimana mestinya. Pegawai administrasi yang kurang cakap mengguna kan alat-alat pendidikan, administrasi, media dan peser ta didiknya sendiri.
2.                  Faktor kedua antara lain sarana dan prasarana pendidikan juga ikut menentukan. Ia dapat menjadi pendukung jika segalanya siap pakai, sekaligus sebagai faktor penghambat bila sarana dan prasarana pendidikan tersebut tidak tersedia, tidak terawat, tidak terdokumentasi dengan baik, atau kekurangan dana untuk perawatan dan pemeliharaannya. Dari keterangan singkat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa, faktor pendukung terlaksananya dan efektifnya proses pendidikan terletak pada manusianya dan pada sarana-prasarananya secara umum, baik sarana pendidikan maupun sarana pembelajaran/pengajaran.

Kedua Faktor Pendukung dan Penghambat Efektivitas Pendidikan tersebut sekaligus dapat menjadi penghambat, bila konsep yang sebenarnya tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Meskipun demikian, peranan masyarakat secara umum dapat menjadi faktor utama yang dapat mendukung sekali gus menghambat terlaksananya proses pendidikan. Artinya, terlaksana atau tidaknya sebuah proses pendidikan pada suatu tempat, sangat dipengaruhi oleh keadaan masyarakat di sekitar lembaga pendidikan tersebut. Karena itu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa persoalan pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyara kat dan pemerintah.
Dari tiga pusat pendidikan yang telah dikemukakan di atas (keluarga, masyarakat dan sekolah), tidak hanya dilihat dari Faktor Pendukung dan Penghambat Efektivitas Pendidikan, tetapi harus pula dilihat dari permasalahan yang dihadapinya, dalam hal ini disebut sebagai penghambat-penghambat khusus. Penghambat-penghambat khusus tersebut dapat dilihat pada pola pendidikan afektif (pendidikan moral,nilai dan norma), apalagi bila memperhatikan strategi yang sering dipergunakan dalam pendidikan afektif terse but yaitu keadaan dan situasi yang mengundang konflik nilai atau perilaku amoral. Dalam hal ini, anak didik diarahkan untuk menentukan sikap dan mengambil keputusan untuk suatu keadaan atau situasi yang sesuai dengan norma, moral dan nilai-nilai yang dianutnya. Permasalahannya akan semakin jelas bila upaya tersebut (pendidikan afektif) diperhadapkan pada situasi yang lebih buruk dari yang diharapkan, khususnya konflik nilai dan perilaku moral yang terlalu membahayakan anak. Hal ini dapat saja terjadi mengingat arus informasi semakin deras dari berbagai arah, dan tidak menutup kemungkinan informasi yang diterima anak di luar kontrol pelaksana pendidikan (guru, orang tua dan masyarakat), yang cenderung mengurangi efektivitas pendidikan afektif yang dianut, baik sebagai bangsa Indonesia maupun seba gai umat beragama (dalam hal ini agama Islam).
Pada kondisi seperti itulah pola pendidikan afektif harus lebih diarahkan kepada peningkatan nilai-nilai moral anak didik dan mengupayakan agar anak didik tetap sebagai potret yang dapat melanjutkan nilai-nilai moral bangsa dan agamanya, khususnya agama Islam. Tanggung jawab untuk mengantisipasi (mengatasi) akibat-akibat yang tidak diinginkan terhadap anak didik dari semakin gencarnya nilai-nilai luar yang masuk lewat informasi, merupakan tanggung jawab kolektif (menyeluruh) dari segenap pelaksana pendidikan. Dengan tidak bermaksud mengurangi nilai tanggung jawab dari berbagai wadah pendidikan, maka penulis cenderung untuk lebih mengutamakan wadah keluarga sebagai lembaga yang sangat memainkan peranan dalam upaya ini. Dengan kata lain, dalam wadah keluargalah, pendidikan afektif dapat mene­mukan fungsinya yang paling efektif, yaitu membekali anak didik dengan nilai-nilai moral dan norma hidup yang bersumber dari falsafah bangsa dan jiwa keagamaan yang dianutnya. Dalam hal ini, orang tua tidak hanya berfung si sebagai orang tua biologis, tetapi sebagai orang tua edukatif (pendidik), terhadap anak-anaknya dalam keluar ga, karena bagaimana pun, sikap dan perilaku orang tua sangat mempengaruhi baik buruknya perilaku anak-anaknya, seperti yang telah banyak disinggung di depan.


“Macam-Macam Manusia”


1.Para jenius
2. Para intelektual
3. Mereka yang dapat dilatih
4. Mereka yang tidak dapat dilatih
Keterangan dan contoh:
1. Para jenius menunjukkan macam manusia yang dapat memahami ajaran hanya dengan mendengarkan pokok ajaran. Jenis ini dapat dibandingkan dengan bunga teratai yang telah muncul di atas permukaan air dan pasti akan mekar pada sinar fajar hari yang pertama. Suatu contoh dapat dilihat dalam hal bhikkhu Sariputta Thera, petapa Bahiya, samanera Sankicca dan beberapa lainnya lagi yang dengan segera mencapai penerangan sempurna sewaktu mendengarkan syair-syair yang pertama.
2. Manusia jenis kedua dengan tingkat kebijaksanaan yang lebih rendah adalah disebut para intelektual, yang memerlukan keterangan dan uraian lebih jauh sebelum mereka dapat mencapai Penerangan Sempurna. Contoh dari jenis ini adalah lima orang petapa dan rombongan seribu petapa penyembah api yang dipimpin oleh Uruvela Kasapa. Mereka dapat dibandingkan dengan bunga-bunga teratai yang masih berada di bawah permukaan air, sedang menunggu untuk muncul di atas permukaan air pada hari berikutnya.
3. Mereka yang dapat dilatih menunjukkan mayoritas manusia biasa (yang tidak begitu bodoh tetapi juga tidak begitu bijaksana). Orang-orang ini memerlukan instruksi-instruksi dan uraian-uraian serta suatu jangka waktu latihan dan praktek sebelum mereka dapat mengharapkan suatu kemajuan atau perkembangan yang nyata. Mereka dapat dibandingkan dengan bunga teratai yang masih berada agak jauh di bawah permukaan air. Mereka memerlukan suatu jangka waktu lebih lama untuk pertumbuhan dan kemunculan mereka di atas permukaan air.
4. Mereka yang tidak dapat dilatih atau tidak ada harapan adalah mereka yang tidak mungkin mengerti atau maju dalam masa kehidupan ini. Mereka dapat mendengarkan ajaran-ajaran atau mencoba untuk mempraktekkan sesuai dengan perintah-perintah, tetapi karena keterbelakangan atau kebutaan batin mereka, tidak ada hasilnya yang dapat diharapkan. Mereka adalah seperti bunga teratai yang dimakan habis oleh binatang air, tidak mempunyai harapan untuk tumbuh di atas permukaan air.


“Macam-Macam Keadilan”

1. Keadilan legal atau keadilan moral
Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari masyarakat yang membuat dan menjadi kesatuannya. Dalam masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan menurut sifat dasarnya paling cocok baginya ( the man behind the gun ). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan oleh yang lainnya disebut keadilan legal.
2. Keadilan distributive
Aristotele berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan tidak sama (justice is done when equels are treated equally).

3. Keadilan komutatif
Keadilan ini bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum.Bagi Aristoteles pengertian keadilan ini merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrem menjadikan ketidakadilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.
4.kejujuran
              Kejujuran atau jujur artinya apa-apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya, apa yang dikatakan sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Untuk itu dituntut satu kata dan perbuatan, yang berarti bahwa apa yang dikatakan harus sama dengan perbuatannya. Karena itu jujur berarti juga menepati janji atau kesanggupan yang terlampir melalui kata-kata ataupun yang masih terkandung dalam hati nuraninya yang berupa kehendak, harapan dan niat.
5. Kecurangan
Kecurangan atau curang identik dengan ketidakjujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan licik, meskipun tidak serupa benar. Curang atau kecurangan artinya apa yang diinginkan tidak sesuai dengan hari nuraninya atau, orang itu memang dari hatinya sudah berniat curang dengan maksud memperoleh keuntungan tanpa bertenaga dan berusaha. Kecurangan menyebabkan orang menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagai orang yang paling hebat, paling kaya, dan senang bila masyarakat disekelilingnya hidup menderita. Bermacam-macam sebab orang melakukan kecurangan. Ditinjau dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, ada 4 aspek yaitu aspek ekonomi, aspek kebudayaan, aspek peradaban dan aspek teknik. Apabila keempat asepk tersebut dilaksanakan secara wajar, maka segalanya akan berjalan sesuai dengan norma-norma moral atau norma hukum. Akan tetapi, apabila manusia dalam hatinya telah digerogoti jiwa tamak, iri, dengki, maka manusia akan melakukan perbuatan yang melanggar norma tersebut dan jadilah kecurangan.
6. Pemulihan nama baik
Nama baik merupakan tujuan utama orang hidup. Nama baik adalah nama yang tidak tercela. Setiap orang menajaga dengan hati-hati agar namanya baik. Lebih-lebih jika ia menjadi teladan bagi orang/tetangga disekitarnya adalah suatu kebanggaan batin yang tak ternilai harganya. Penjagaan nama baik erat hubungannya dengan tingkah laku atau perbuatan. Atau boleh dikatakan bama baik atau tidak baik ini adalah tingkah laku atau perbuatannya. Yang dimaksud dengan tingkah laku dan perbuatan itu, antara lain cara berbahasa, cara bergaul, sopan santun, disiplin pribadi, cara menghadapi orang, perbuatn-perbuatan yang dihalalkan agama dan sebagainya. Pada hakekatnya pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala kesalahannya; bahwa apa yang diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral atau tidak sesuai dengan ahlak yang baik. Untuk memulihkan nama baik manusia harus tobat atau minta maaf. Tobat dan minta maaf tidak hanya dibibir, melainkan harus bertingkah laku yang sopan, ramah, berbuat darma dengan memberikan kebajikan dan pertolongan kepaa sesama hidup yang perlu ditolong dengan penuh kasih sayang , tanpa pamrin, takwa terhadap Tuhan dan mempunyai sikap()rela,tawakal,jujur,adil,dan budi luhur selalu di pupuk.
7. Pembalasan
Pembalasan ialah suatu reaksi atas perbuatan orang lain. Reaksi itu dapat  perbuatan yang serupa, perbuatan yang seimbang, tingkah laku yang serupa, tingkah laku yang seimbang. Pembalasan disebabkan oleh adanya pergaulan. Pergaulan yang bersahabat mendapat balasan yang bersahabat. Sebaliknya pergaulan yagn penuh kecurigaan menimbulkan balasan yang tidak bersahabat pula. Pada dasarnya, manusia adalah mahluk moral dan mahluk sosial. Dalam bergaul manusia harus mematuhi norma-norma untuk mewujudkan moral itu. Bila manusia berbuat amoral, lingkunganlah yang menyebabkannya. Perbuatan amoral pada hakekatnya adalah perbuatan yang melanggar atau memperkosa hak dan kewajiban manusia. Oleh karena itu manusia tidak menghendaki hak dan kewajibannya dilanggar atau diperkosa, maka manusia berusaha mempertahankan hak dan kewajibannya itu. Mempertahankan hak dan kewajiban itu adalah pembalasan.

Contoh keadilan menurut plato.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan:
keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing angotanya.maka hak dalam berbagai sumber tulisan tentangpendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaanpersepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut KihajarDewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah prosesmemanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke tarafinsani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasieksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkandan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa inimembawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabiraktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis). Menurut Ki HajarDewantara tujuan pendidikan adalah penguasaan diri sebab di sinilahpendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan dirimerupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yangmamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasaidirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikianakan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa. Dalam konsep pendidikan KiHadjar Dewantara ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem Pengajaran danPendidikan yang harus bersinergis satu sama lain. Pengajaran bersifatmemerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan).Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin(otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).


Sumber Pustaka :
http://joerig.wordpress.com/2007/04/13/definisi-manusia/
http://jamiroquai-kamaludin.blogspot.com/2011/03/manusia-dan-keadilan.html
http://www.islamtimes.org/vdccmsq1.2bq108f5a2.html
http://abra139210.wordpress.com/2011/03/20/manusia-dan-keadilan/
firmanilhamsaputra.blogspot.com/2012/04/manusia-dan-keadilan-tugas-1.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar